Senin, 30 Oktober 2017

PERUBAHAN SIFAT FISIK TANAH AKIBAT KONVERSI HUTAN

A. Latar Belakang
Perkembangan penduduk selalu diiringi dengan pertambahan kebutuhan hidup, baik secara kualitas maupun kuantitas. Di sisi lain, ketersediaan sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan relatif tetap. Kondisi yang bertentangan ini mengakibatkan adanya tekanan terhadap sumberdaya lahan oleh perkembangan penduduk yang berlangsung terus menerus. Selain dibutuhkan untuk tempat tinggal, lahan juga dipaksa untuk menghasilkan produksi sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga konversi lahan hutan tidak dapat dihindarkan  lagi.  
Tanah memiliki sifat fisik, kimia maupun biologi berbeda-beda pada setiap wilayah yang berbeda pula. Demikian halnya lahan hutan, pertanian campuran maupun monokultural. Keadaan fisik tanah yang baik dapat memperbaiki lingkungan untuk perakaran tanaman dan secara tidak langsung memudahkan penyerapan hara sehingga relatif menguntungkan pertumbuhan tanaman. Tanaman juga dapat melindungi tanah, dari resiko kerusakan sifat fisiknya, terutama terhadap aliran permukaan. Semakin rimbun tanaman yang ada di atas lahan, semakin dapat mengurangi laju hantaman air hujan yang langsung mengenai tanah. Hal ini dikarenakan air hujan yang jatuh lebih dahulu mengenai tajuk tanaman sehingga kekuatan hantaman air hujan melemah (Arifin 2010).
Berbeda dengan lahan hutan, bentuk penggunaan lahan non-hutan lebih rentan terhadap kerusakan lahan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya vegetasi atau tanaman semak sebagai penahan hujan. Rendahnya bahan organik yang berasal dari seresah tanaman menjadikan hujan langsung jatuh mengenai tanah, sehingga lebih mudah memecah butiran tanah (Islami dalam Arifin, 2010).
Perubahan penggunaan lahan sangat mempengaruhi sifat-sifat fisik tanah. Perubahan penggunaan  lahan dan perbedaan sifat-sifat dasar tanah yang meliputi alih fungsi lahan yang semula ada vegetasi menjadi lahan yang minim atau bahkan tidak ada vegetasi mengakibatkan laju infiltrasi dan perkolasi pada tanah menjadi berubah dan memungkinkan terjadinya proses infiltrasi yang cukup besar. Hal itu juga dapat menyebabkan semakin berkurangnya daerah resapan air hujan secara langsung dan penurunan ketersediaan air tanah.

B. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis perubahan sifat-sifat fisik tanah akibat adanya konversi hutan atau perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan non-hutan.  

C. Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur pada buku-buku yang membahas tentang konversi hutan, artikel, dan jurnal-jurnal penelitian yang berkaitan dengan dampak konversi hutan dalam kaitannya dengan perubahan sifat fisik tanah. Data yang didapat dari studi literatur ini digunakan untuk memperkuat permasalahan serta sebagai dasar dalam melakukan studi.

D. Pembahasan
Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang tertutup dan tidak ada campur tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara terbatas misalnya pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak mengganggu hutan dan fungsi hutan. Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan penebangan hutan untuk penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian, pemukiman atau industri. Gangguan terhadap hutan semakin besar sehingga fungsi hutan juga berubah.

Konversi Hutan
Hampir semua lahan di Indonesia pada awalnya merupakan hutan alam yang secara berangsur dialih-fungsikan oleh manusia menjadi berbagai bentuk penggunaan lahan lain. Perubahan fungsi lahan yang terjadi secara bertahap namun terus menerus hingga sekarang mengakibatkan luas lahan hutan di Indonesia semakin berkurang. Alasan yang menyebabkan terjadinya penebangan hutan sehingga terjadi proses alih-guna lahan antara lain (Hairiah & Suharjito 2003):
1. Perluasan lahan pertanian akibat kebutuhan pangan penduduk, baik secara kualitas maupun kuantitas semakin bertambah seiring perubahan gaya hidup penduduk dan pertumbuhan penduduk yang pesat;
2. Permintaan pasar terhadap kayu, yang dilakukan secara selektif tetapi tidak jarang pula dilakukan tebang habis;
3. Kebutuhan lahan pemukiman;
4. Kebutuhan lahan industri, yang semakin bertambah seiring dengan kemajuan teknologi;
5. Tempat penampungan air, hutan dijadikan daerah genangan sebagai akibat dari pembuatan dam/ bendungan, sehingga menjadi danau/ waduk; dan
6. Penggalian bahan tambang, hutan ditebang dan dibersihkan untuk mengambil bahan tambang yang ada di bawahnya. Dari berbagai alasan tersebut, selain harus membersihkan vegetasi penutup lahannya juga harus menyingkirkan lapisan tanah.

Perubahan Sifat Fisik Tanah
Hutan dan vegetasinya memiliki peranan dalam pembentukan dan pemantapan agregat tanah. Vegetasinya berperan sebagai pemantap agregat tanah karena akar-akarnya dapat mengikat partikel-partikel tanah dan juga mampu menahan daya tumbuk butir-butir air hujan secara langsung ke permukaan tanah sehingga dapat mencegah penghancuran tanah. Selain itu seresah yang berasal dari dedaunan dapat pula meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Sehingga dapat memperbaiki sifat fisik tanah yakni pembentukan struktur tanah yang baik maupun peningkatan perkolasi yang pada akhirnya dapat memperkecil erosi.
Perkembangan perakaran tanaman hutan mampu menekan dan memperenggang agregat tanah yang berdekatan. Penyerapan air oleh akar tanaman hutan menyebabkan dehidrasi tanah, pengkerutan dan terbukanya rekahan-rekahan kecil. Kedua proses tersebut dapat memicu terbentuknya pori yang lebih besar (makroporositas) (Marshall et al dalam Suprayogo et al. 2002). Dengan kata lain pembentukan makroporositas ini selain disebabkan oleh adanya celah atau ruang yang terbentuk dari pemadatan matrik tanah juga adanya gangguan aktivitas perakaran, hewan tanah, pembengkahan, perekahan dan pengkerutan tanah.
Tekstur tanah hutan lebih berkembang daripada lahan non-hutan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahan organik tanah. Pada proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asam-asam organik yang merupakan pelarut efektif bagi batuan dan mineral-mineral primer (pasir dan debu) sehingga lebih mudah pecah menjadi ukuran yang kebih kecil seperti lempung. Selain itu, jumlah dan kerapatan akar lebih tinggi pada hutan akan mempercepat penghancuran secara fisika sehingga fraksi yang lebih halus akan cepat terbentuk (Arifin dalam Tolaka et al. 2013)
Arsyad (2006) mengemukakan bahwa kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan. Pembukaan lahan hutan menjadi non-hutan merupakan penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Lapisan tanah atas adalah bagian yang paling cepat dan mudah terpengaruh oleh berbagai perubahan dan perlakuan. Kegiatan selama berlangsungnya proses alih-guna lahan segera mempengaruhi kondisi permukaan tanah. Penebangan hutan atau pepohonan mengakibatkan permukaan tanah menjadi terbuka, sehingga terkena sinar matahari dan pukulan air hujan secara langsung. Berbagai macam gangguan langsung juga menimpa permukaan tanah, seperti menahan beban akibat menjadi tumpuan lalu lintas kendaraan, binatang dan manusia dalam berbagai kegiatan seperti menebang dan mengangkut pohon, mengolah tanah, menanam dan sebagainya.
Dampak langsung dari berbagai kegiatan tersebut adalah menurunnya porositas tanah yang ditandai oleh peningkatan nilai berat isi. Tanah (umumnya lapisan atas) menjadi mampat karena ruangan pori berkurang (terutama ruang pori yang berukuran besar). Berkurangnya ruangan pori makro mengakibatkan penurunan infiltrasi (laju masuknya air ke dalam tanah), penurunan kapasitas menahan air dan kemampuan tanah untuk melewatkan air (daya hantar air).
Penelitian yang dilakukan oleh Didik Suprayogo pada DAS Way Besai, Lampung Barat, menyebutkan bahwa pembukaan lahan hutan menjadi kebun kopi monokultur umumnya dilakukan dengan cara tebang bakar dan pembersihan permukaan tanah. Kegiatan tersebut diduga sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kerusakan struktur tanah akan berdampak terhadap penurunan jumlah maroporositas tanah dan lebih lanjut akan diikuti penurunan laju infiltrasi permukaan tanah dan peningkatan limpasan permukaan, sehingga menyebabkan berubahnya pola aliran air di dalam sistem tata guna lahan.
Dalam penelitian tersebut dibuktikan bahwa tanah hutan mempunyai makropori relatif lebih banyak dan laju infiltrasi permukaan yang lebih tinggi dibanding kebun kopi monokultur. Hutan telah terbukti mampu menurukan limpasan permukaan dan erosi. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain (Hairiah & Suharjito 2003): (1) hutan memiliki lapisan seresah yang tebal; (2) penutupan permukaan tanah oleh kanopi tanaman;  (3) cacing tanah yang hidup pada tanah hutan ukuran tubuhnya lebih besar dibandingkan dengan kebun monokultural; (4) hutan dapat mendukung air hujan yanng jatuh dapat mengalir secara lateral ke dalam tanah; dan (5) evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kebun monokultur.
Sifat-sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah, kemampuan menahan air dan laju infiltrasi. Lapisan atas tanah merupakan tempat yang mewadahi berbagai proses dan kegiatan kimia, fisik dan biologi yakni organisme makro dan mikro termasuk perakaran tanaman dan pepohonan. Untuk menunjang berlangsungnya proses-proses kimia, fisik dan biologi yang cepat diperlukan air dan udara yang tersedia pada saat yang tepat dan dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu tanah harus memiliki sifat fisik yang bisa mendukung terjadinya sirkulasi udara dan air yang baik.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yanng lebih kecil juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibatnya lingkungan pertanaman menjadi lebih rapuh (fragile) dan rentan terhadap kerusakan jika tidak dikelola dengan baik (Suprayogo dalam Tolaka, dkk, 2013).
Perubahan tutupan vegetasi mengakibatkan terjadi perubahan pada sifat fisik tanah, karena setiap jenis vegetasi memiliki sistem perakaran yang berbeda (Winanti dalam Sulistyo, 2007). Perubahan sifat fisik yang terjadi dapat dilihat secara langsung dan ada yang mengalami perubahan sejalan dengan waktu. Tekstur tanah pada kondisi allih-fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian monokultur juga ikut berubah jumlah fraksi yang membentuk tanah (Suryani dalam Tolaka, dkk, 2013).
Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan atau permukiman akan menurunkan fungsi tanah. Hasil penelitian Setyowati (2007) pada DAS Kreo Semarang menyebutkan bahwa sifat disik tanah pada hutan memiliki nilai BO dan permeabilitas paling tinggi, kebun campuran memiliki nilai rata-rata kadar air dan BV (kerapatan massa tanah) paling tinggi, sedangkan pada lahan sawah memiliki nilai tinggi untuk porositas dan BJ (kerapatan butir tanah). Pada lahan permukiman mempunyai nilai sedang hingga rendah, dengan kelas permeabilitas sedang hingga lambat. Kemampuan tanah meresapkan air diukur dari nilai kapasitas infiltrasi, pada lahan hutan lebih cepat dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan lainnya.
Hal serupa juga terjadi pada penelitian yang dilakukan Widianto dkk (2004), pada lahan yang digunakan untuk perkebunan kopi monokultur di DAS Way Besai, Lampung Barat ternyata belum bisa sepenuhnya menggantikan fungsi hidrologi hutan meskipun sudah mencapai 10 tahun. Kondisi tersebut disebabkan peran untuk memperbaiki sifat fisik tanah dan fungsi hidrologi hutan tidak bisa dibebankan pada tanaman kopi saja. Kebun kopi monokultur hanya memiliki 1 jenis tanaman saja sedangkan pada hutan memiliki aneka macam tanaman. Oleh karena itu terdapat perbedaan dalam hal sifat fisik tanah yang dipengaruhinya.
Adanya perbedaan sifat fisik tanah pada berbagai penggunaan lahan akan menentukan kemampuan tanah meresapkan air. Kondisi penggunaan lahan yang mempengaruhi peresapan air terutama berkaitan dengan faktor dan jenis vegetasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi sifat fisik tanah pada lahan dengan vegetasi lebat (hutan) akan cenderung lebih mampu meresapkan air dibandingkan lahan yang memiliki vegetasi jarang. Tipe vegetasi, jenis, komposisi dan kerapatannya juga sangat menentukan besar-kecilnya air meresap kedalam tanah.

E. Kesimpulan
Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan non-hutan seperti lahan pertanian, perkebunan, permukiman atau industri akan menyebabkan penurunan tanah. Penebangan hutan mengakibatkan permukaan tanah menjadi terbuka, sehingga terkena sinar matahari dan pukulan air hujan secara langsung mengenai lapisan atas tanah. Berbagai macam gangguan langsung juga menimpa permukaan tanah, seperti menahan beban akibat menjadi tumpuan lalu lintas kendaraan, binatang dan manusia dalam berbagai kegiatan seperti menebang dan mengangkut pohon, mengolah tanah, menanam dan sebagainya. Perubahan tutupan vegetasi juga mengakibatkan terjadi perubahan pada sifat fisik tanah, karena setiap jenis vegetasi memiliki sistem perakaran yang berbeda.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Tekstur tanah pada kondisi allih-fungsi lahan hutan akan berubah, yakni jumlah fraksi yang pembentuk tanahnya.  Sifat fisik tanah lainnya, yakni porositas tanah juga menurun, yang ditandai oleh peningkatan nilai berat isi. Tanah menjadi mampat karena ruangan pori berkurang (terutama ruang pori yang berukuran besar). Berkurangnya ruangan pori makro mengakibatkan penurunan infiltrasi, penurunan kapasitas menahan air dan kemampuan tanah untuk melewatkan air.
Perbedaan sifat fisik tanah pada berbagai penggunaan lahan akan menentukan kemampuan tanah meresapkan air. Kondisi penggunaan lahan yang mempengaruhi peresapan air terutama berkaitan dengan faktor dan jenis vegetasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi sifat fisik tanah pada lahan dengan vegetasi lebat (hutan) akan cenderung lebih mampu meresapkan air dibandingkan lahan yang memiliki vegetasi jarang.
F. Daftar Pustaka
Arifin, M., 2010. Kajian Sifat Fisik Tanah dan Berbagai Penggunaan Lahan dalam Hubungannya dengan Pendugaan Erosi Tanah. Jurnal Pertanian MAPETA, XII(2), pp.111–115.
Arsyad, S. (2006). Konservasi Tanah dan Air. Edisi ke-2. Bogor: IPB Press.
Hairiah, K. & Suharjito, D., 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri Widianto, S. R. Utami, & K. Hairiah, eds., Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF).
Irawan, B., 2005. Konversi Lahan Sawah : potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23(1), pp.1–18.
Rosyidah, E. & Wirosoedarmo, R. 2013. Pengaruh Sifat Fisik Tanah pada Konduktivitas Hidrolik. Jurnal Agritech, 33 (3), pp.340-345.
Setyowati, D.L., 2007. Sifat Fisik Tanah dan Kemampuan Tanah Meresapkan Air Pada Lahan Hutan, Sawah dan Permukiman. Jurnal Geografi, 4(2), pp.114–128.
Suprayogo, D. et al., 2004. Degradasi Sifat Fisik Tanah Sebagai Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Sistem Kopi Monokultur: Kajian Perubahan Makroporositas Tanah. Agrivita, 26(1), pp.60–68.
Tolaka, W., Wardah & Rahmawati, 2013. Sifat Fisik Tanah Pada Hutan Primer, Agroforestri dan Kebun Kakao di Sub DAS Wera Saluopa Desa Leboni Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso. Warta Rimba, 1(1), pp.1–8.
Widianto et al., 2004. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan Dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur? Agrivita, 26(1), pp.47–52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar